Krakatau Steel, Terancam Anak Sendiri
Kontroversi initial public offering PT Krakatau Steel (IPO KS) berbandrol sangat murah, Rp850, di bursa saham sejak 10 November kemarin, hanyalah satu babak dari rentetan problematika kerja sama patungan (joint venture) pembuatan pabrik baja antara PT Krakatau Steel (KS) dengan perusahaan baja Korea Selatan Pohang Steel and Iron Company (Posco) yang sedang berlangsung di daerah Cigading, Cilegon, Banten.
Ihwalnya, dana hasil penjualan 20 persen saham KS tersebut akan dialokasikan sebagai talangan atas kerja sama patungan dengan pabrik baja asal Korsel itu. Terlepas dari IPO KS yang dijual obral dengan potensi kerugian besar yang ditanggung negara, pelbagai pertanyaan kini bermunculan sebagai sinyalemen kecerobohan pemerintah atas beragam kebijakan privatisasi.
Bagaimana positioning KS dalam joint venture tersebut mengingat rendahnya ekuitas KS? Sejauh mana selektivitas prosedur yang dilakukan KS dalam konteks kerja sama patungan tersebut? Apa pula impact jangka panjang yang akan ditanggung negara?
Mencurigai Prosedur
Sejak pertengahan 2009 memang telah dipersiapkan sedemikian rupa kerja sama investasi antara kedua perusahaan baja. Proyek ini pun telah melalui beberapa tahapan kesepakatan, yakni memorandum of understanding (MOU) dan memorandum of agreement (MOA) pada akhir 2009 lalu.
Akhirnya penandatanganan kerja sama patungan atau join venture agreement pembuatan pabrik baja Krakatau-Posco diteken pada awal Agustus lalu. Meski demikian, rencana kerja sama patungan tersebut sempat terkatung-katung dan molor lama karena problem persentase ekuitas oleh KS dan pemenuhan permintaan keringanan fiskal oleh Posco.
Alotnya penandatanganan kerja sama patungan antara KS-Posco nyatanya dilakukan di luar prosedur normal. Sebagai perusahaan negara, untuk suatu kerja sama yang bernilai besar, KS sepatutnya terlebih dahulu melalui tahapan yang selektif dan ketat.
Dalam kasus ini, KS menempuh jalan pintas dengan langsung melakukan MOU dan MOA dengan Posco. Padahal, untuk membuat safety belt bagi sehatnya iklim investasi dalam negeri, KS seharusnya terlebih dahulu membuat kriteria bagi strategic partner yang akan diajukan untuk kerja sama.
Kriteria itu dibuat antara lain agar strategic partner mampu menjaga supply dan harga yang kompetitif bagi konsumen dalam negeri, memberikan ruang luas bagi proyek-proyek strategis Indonesia, dan mempunyai akses teknologi yang telah teruji dan efisien.
Kemudian mempunyai sumber bahan baku dan menggunakan bahan baku nasional, mempunyai akses terhadap pasar internasional, menggunakan semaksimal mungkin tenaga kerja nasional, sekaligus alih teknologi. Secara prosedural, KS selanjutnya harus mengumumkan atau mengundang secara terbuka strategic partner yang potensial.
Dalam industri baja, tak kurang perusahaan bonafide yang mampu dan menguntungkan bagi negara untuk diajak bekerja sama dengan menyampaikan kriteria yang diinginkan. Setelah itu, KS dapat menggelar beauty contest dan menyeleksi yang terbaik dari yang berminat, lantas memilih strategic partner. Barulah setelah itu, membuat MOU yang dilanjutkan dengan perjanjian MOA dan seterusnya.
Namun faktanya, disiplin prosedur tersebut tak dilalui oleh KS dalam hal kerja sama patungan dengan Posco. Tanpa pretensi meragukan kredibilitas Posco, jalan pintas yang dipilih KS menjadi dalil bahwa pemerintah tidak selektif dalam proses penanaman investasi asing, sekaligus ditopang oleh lemahnya otoritas kebijakan dalam kesepakatan yang telah ditandatangani.
Lemahnya Otoritas
Kerja sama pembangunan pabrik baja KS-POSCO ini bernilai proyek USD6 miliar dengan kapasitas enam juta ton. Kedua belah pihak sepakat menjalankan kerja sama dalam dua tahap.
Tahap pertama nilai proyeknya sekira USD3 miliar dengan target kapasitas baja tiga juta ton. Di tahap ini Posco menjadi pemegang saham mayoritas dengan 70 persen saham, sementara KS hanya mendapat jatah 30 persen saham dan akan mendapatkan peningkatan ekuitas sebesar 45 persen setelah tiga tahun terselesaikannya pembangunan pabrik.
Pada tahap ini juga kedua belah pihak hanya akan mengeluarkan 35 persen dari nilai proyek atau sekira USD1 miliar sebab 65 persen lainnya akan diperoleh melalui pinjaman.
Dalam hal ini, pihak KS wajib mengguyurkan modal sebesar USD300 juta. Sementara Posco harus menggelontorkan modal total USD700 juta. Komposisi saham Posco 70 persen dan KS yang hanya 30 persen ini cukup aneh sekaligus mengkhawatirkan.
Walaupun nanti katanya saham KS akan menjadi 45 persen dan Posco 55 persen, tetap saja mayoritas ada di pihak asing. Mengapa kita membiarkan pihak asing mengendalikan kita? Padahal pabriknya ada di Indonesia, demikian juga bahan baku, sumber energi, sumber daya manusia, dan lainnya.
Sementara itu, untuk menggelontorkan cash money sebesar USD300 juta ini, KS akan melego sahamnya sebesar 30 persen, dengan prosedur bertahap mulai 20 persen yang kini sedang berlangsung di bursa saham (IPO KS).
Fakta ini menandakan dua hal. Pertama, saham KS akan menyusut 30 persen yang berarti pula kepemilikan BUMN oleh negara akan kian mengecil. Kedua, hasil joint venture diperkirakan akan kian merugikan KS karena lemahnya ekuitas KS.
Di titik ini, meski akan dijanjikan peningkatan ekuitas tersebut setelah tiga tahun, KS harus mengalah (menyerah) dalam alotnya negosiasi yang menginginkan saham maksimal 45 persen. KS yang notabene adalah BUMN akan merugi karena lemahnya otoritas.
Indikasi ini menandakan bahwa pihak asing (Posco) berpeluang besar melumpuhkan industri baja dalam negeri. Sebab, perusahaan patungan inilah yang akan mengambil peran besar melakukan ekspansi.
Bahkan untuk jangka panjang, dengan meningkatnya kebutuhan akan baja, peranan KS sebagai tuan rumah di negeri sendiri akan tergeserkan bahkan bisa terdilusi oleh perusahaan baja patungan yang dikuasai oleh perusahaan asal Korea Selatan itu.
Hal ini merupakan tanda tanya besar, termasuk saat Pemerintah mengobral saham KS dengan harga Rp850 per lembar, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Seandainya saja komposisi saham menjadikan KS sebagai mayoritas, kekhawatiran di atas tidak perlu terjadi.
Modal KS dapat bertambah sebesar Rp1,1 triliun jika saham dijual di atas Rp1.200.Tambahan dana sebesar ini cukup untuk menguasai saham mayoritas joint venture dengan Posco.
Dengan menguasai mayoritas saham, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan termasuk untuk pengembangan KS ke depan. Apalagi kita juga kaya akan bahan baku dan sumber energi sehingga tidak perlu mengandalkan pihak asing.
Seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, sudah selayaknya perusahaan strategis seperti KS dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah dan bukan oleh pihak asing.
Hilangnya Aset
Sebagai konsekuensi kerja sama patungan KS-Posco, dana yang diperoleh dari IPO sebagian besar akan tersedot ke dalam proyek ini. Padahal seperti diketahui, manajemen KS sedang mengalami permasalahan teknis yang memerlukan dana besar, baik dalam hal pembenahan maupun maksimalisasi kualitas produksi.
Dengan tersedotnya dana untuk kerja sama tersebut, secara automatis permasalahan pendanaan internal KS pun tak maksimal, yang berisiko pada kebangkrutan di masa mendatang jika problem ini tidak segera diatasi.
Pada saat yang sama, di setiap ekspansi dalam kerja sama patungan itu, KS berkewajiban menyetorkan tambahan modal kepada perusahaan joint venture. Hal itu kelihatannya akan sulit dilakukan tanpa harus menjual lagi aset maupun saham pemerintah di KS.
Di domain ini, keterbatasan dana yang ditanggung KS akan berakibat pada dua hal. Pertama, tidak terpenuhinya setoran modal ke proyek joint venture KS-Posco berkonsekuensi pada penurunan kepemilikan saham KS di proyek ini,yang diperkirakan KS hanya mampu memiliki maksimum 20 persen di masa mendatang karena terdilusi oleh Posco.
Kedua, ketidakmampuan KS merevitalisasi perusahaannya akan tetap memosisikan perusahaan tak kompetitif karena kualitas produksi terbatas dengan biaya produksi tinggi.
Ketidakmampuan KS memenuhi generate cash flow di masa mendatang, selain menyebabkan rendahnya posisi KS dalam memenuhi kebutuhan dana di join venture, juga kian menciutkan saham KS di join venture KS-Posco yang memungkinkan diakuisisinya KS oleh Posco, baik melalui lantai bursa maupun direct acquisition.
Pada akhirnya kontrol dan akses pemerintah terhadap industri strategis akan hilang. Inilah masalah berantai dilema patungan KS-Posco yang dapat berujung pada lepasnya aset-aset negara. Bila hal ini nanti terjadi, bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945? (*)
Rabu, 24 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar